Kebudayaan Suku Aceh
Suku Aceh adalah nama sebuah suku penduduk
asli yang mendiami wilayah pesisir dan sebagian pedalaman Provinsi Aceh,
Indonesia. Suku Aceh mayoritas beragama Islam. Suku Aceh sesungguhnya merupakan
keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa yang menetap di tanah Aceh. Pengikat
kesatuan budaya suku Aceh terutama ialah dalam bahasa, agama, dan adat khas
Aceh.
Asal Usul Suku Aceh
Bukti-bukti arkeologis terawal penghuni Aceh
adalah dari masa pasca Plestosen, di mana mereka tinggal di pantai timur Aceh
(daerah Langsa dan Tamiang), dan menunjukkan ciri-ciri Australomelanesid. Mereka terutama hidup dari hasil laut, terutama berbagai jenis kerang, serta
hewan-hewan darat seperti babi dan badak. Mereka sudah memakai api dan
menguburkan mayat dengan upacara tertentu.
Selanjutnya terjadi perpindahan suku-suku asli
Mantir dan Lhan (proto Melayu), serta suku-suku Champa, Melayu, dan Minang
(deutro Melayu) yang datang belakangan turut membentuk penduduk pribumi Aceh.
Bangsa asing, terutama bangsa India selatan, serta sebagian kecil bangsa Arab,
Persia, Turki, dan Portugis juga adalah komponen pembentuk suku Aceh. Posisi
strategis Aceh di bagian utara pulau Sumatra, selama beribu tahun telah menjadi
tempat persinggahan dan percampuran berbagai suku bangsa, yaitu dalam jalur
perdagangan laut dari Timur Tengah hingga ke Cina.
Kebudayaan Suku Aceh
a. Bahasa
Bahasa Aceh adalah sebuah bahasa yang
dituturkan oleh suku Aceh yang terdapat di wilayah pesisir, sebagian pedalaman
dan sebagian kepulauan di Aceh. Bahasa Aceh termasuk dalam rumpun bahasa
Chamic, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa
Austronesia.
Bahasa Aceh termasuk dalam kelompok bahasa
Chamic, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa
Austronesia. Bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan terdekat dengan bahasa
Aceh adalah bahasa Cham, Roglai, Jarai, Rade dan 6 bahasa lainnya dalam rumpun
bahasa Chamic. Bahasa-bahasa lainnya yang juga berkerabat dengan bahasa Aceh
adalah bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau.
Bahasa Aceh tersebar terutama di wilayah
pesisir Aceh. Bahasa ini dituturkan di 10 kabupaten dan 4 kota di Aceh, yaitu:
Kota (Sabang, Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa), Pesisir Utara Timur (Aceh
Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur (kecuali di 3
kecamatan, Serba Jadi, Peunaron and Simpang Jernih di mana bahasa Gayo
dipakai). Pesisir Barat Selatan (Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat
Daya (kecuali di kecamatan Susoh di mana bahasa Aneuk Jamee dituturkan), Aceh
Selatan (bercampur dengan bahasa Kluet dan bahasa Aneuk Jamee).
b. Asal keturunan
Menurut bukti-bukti arkeologis, awalnya
penghuni Aceh adalah dari masa pasca Plestosen, di mana mereka tinggal di
pantai timur Aceh (daerah Langsa dan Tamiang), dan menunjukkan ciri-ciri
Australomelanesid. Mereka terutama hidup dari hasil laut, terutama berbagai
jenis kerang, serta hewan-hewan darat seperti babi dan badak. Pada saat itu
mereka sudah menggunakan api dan menguburkan mayat dengan upacara tertentu.
Selanjutnya pembentukan suku-suku Aceh terjadi
ketika perpindahan suku-suku asli Mantir dan Lhan (proto Melayu), serta
suku-suku Champa, Melayu, dan Minang (deutro Melayu) yang datang dan membentuk
penduduk pribumi Aceh. Selain itu bangsa asing, seperti bangsa India selatan,
serta sebagian kecil bangsa Arab, Persia, Turki, dan Portugis juga merupakan
bagian komponen pembentuk suku Aceh. Posisi strategis Aceh di bagian utara pulau
Sumatra, selama beribu tahun telah menjadi tempat persinggahan dan percampuran
berbagai suku bangsa, yaitu dalam jalur perdagangan laut dari Timur Tengah
hingga ke Cina. Sehingga rakyat aceh banyak merupakan campuran dari
bangsa-bangsa lain.
c. Letak Geografis
Nanggroe Aceh Darussalam terletak di antara 20
– 60 LU dan 950 – 980 LS dengan
ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Batas – batas wilayah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, sebelah Utara dan sebelah Timur berbatasan dengan
Selat Malaka, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara dan
sebelah Barat berbatasan dengan Samudra Indonesia. Satu – satu nya yang
berbatasan dengan daratannya hanyalah Provinsi Sumatera Utara sehingga memiliki
ketergantungan yang cukup tinggi.
d. Sistem Sosial
Bentuk kekerabatan yang utama dalam masyarakat
Aceh adalah keluarga inti, karena umumnya anggota rumah tangga terdiri dari
ayah, ibu dan anak-anknya saja. Prinsip garis keturunannya adalah bilineal dan
bilateral. Kelompok kerabat yang paling menonjol adalah keluarga luas
uksorilokal, yaitu pengelompokan keluarga di lingkungan pihak perempuan. Karena
setelah kawin anak akan tinggal beberapa bulan di rumah orang tuanya, tapi
biasanya segera akan membentuk rumah tangga sendiri dekat lingkungan pihak istri.
Pada masa dulu masyarakat Aceh mengenal
beberapa pelapisan sosial. Di antaranya ada empat yang masih dikenal, yaitu:
golongan keluarga sultan, golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan
rakyat jelata. Bangsawan keturunan sultan yang laki-laki dipanggil ampon dan
yang perempuan dipanggil cut. Golongan uleeblang adalah keturunan bawahan
sultan yang biasanya bergelar teuku.
Pada hakikatnya masyarakat Aceh terikat oleh
tata karma atau etika yang tentunya berlandaskan ajaran Islam. Tata krama pergaulan
suku Aceh yang sampai sekarang masih dipegang teguh adalah tidak diperboehkan
memegang kepala orang lain, baik yang
usianya lebih muda apalagi yang lebih tua usianya, karena hal ini
dianggap sebagai suatu penghinaan atau menganggap rendah martabat orang lain,
saling mengucapkan salam bila bertemu atau berkunjung, bertutur kata santun dan
lemah lembut kalau berbicara dengan orang lain, terutama kepada yang lebih tua.
Sebagai sarana komunikasi sosial, orang Aceh
mengembangkan semacam suguhan “kapur sirih”. Seseorang yang bertamu
pertama-tama mendapat suguhan ini, baru ditawarkan minuman. Orang Aceh juga
mengembangkan nilai yang dapat menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas
dengan sesamanya, yaitu nilai gotong-royong.
e. Kebiasaan
Masyarakat
1. Upacara Perkawinan
Perkawinan
adalah sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya masyarakat Aceh sebab hal ini
berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa
tersendiri dan sangat dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada
masyarakat Aceh merupakan serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap,
mulai dari pemilihan jodoh (suami/istri), pertunangan dan hingga upacara
peresmian perkawinan.
Suatu
kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan,
terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca
(berinai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin perempuan di rumahnya
masing-masing. Tampak kedua belah tangan dan kaki pengantin dihiasi dengan
inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada malamnya diadakan malam pertunjukan
kesenian seperti tari rabana, hikayat, pho, silat, dan meuhaba atau kaba
(cerita dongeng).
Pada
puncak acara peresmian perkawinan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini
dilakukan oleh kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah dara baro.
Qadli didampingi oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap
juga sebagai saksi. Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan
selanjutnya kadli membaca do’a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan
fasih yang diikuti oleh linto baro dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah
dianggap sempurna, kadli mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila
saksi belum menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut
dengan sempurna.
Setelah
selesai acara nikah, linto baro dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana
dara baro telah terlebih dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit
dari pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan
seumah teuot linto. Setelah dara baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan
sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).
Selama
acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo.
Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua
mempelai itu diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang
indah dan besar bentuknya. Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng
(disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh
para jiran (tetangga). Keluarga pihak linto baro menyuntingi (peusijuk/menepung
tawari) dara baro dan keluarga pihak dara baro menyuntingi pula linto baro.
Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan pulut
kuning di telinga temanten, juga memberikan sejumlah uang yang disebut
teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang
kemudian disusul oleh orang lain secara bergantian.
Apabila
acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk
pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto
baro tidak dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi
benar linto baro harus sudah meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut
adat, bila seorang linto baro masih di rumah dara baro sampai siang.
2. Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah)
Upacara
turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2
tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak
pertama yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau
lembu. Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik
perangai dan budi pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang
bagus-bagus. Waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang
oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah
kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa dilempar
dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga dengan
bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu perempuan,
sedangkan bila bayi itu laki-laki salah seorang keluarga tersebut mencangkul
tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu
dijejakkan di atas tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid
sampai bayi itu dibawa pulang kembali ke rumah.
3. Tradisi Makan dan Minum
Makanan
pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di dalam
tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia
adalah pada lauk-pauknya. Lauk-pauk yang biasa dimakan oleh masyarakat Aceh
sangat spesifik dan bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk utama
masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi). Di antara makanan
khas Aceh adalah gulai kambing (Kari Kambing), sie reboih, keumamah, eungkot
paya (ikan Paya), mie Aceh, dan Martabak. Selain itu, juga ada nasi gurih yang
biasa dimakan pada pagi hari. Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat
Aceh adalah kopi. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh penuh
sesak orang yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut,
ditemani secangkir kopi atau pada siang hari sambil bercengkrama dengan teman
sejawat makan nasi dengan kari kambing, dan sebagainya.
f. Kesenian
·
Alat Musik
Tradisional
Alat musik
tradisional Aceh biasa digunakan untuk acara-cara tertentu dalam tradisi
masyarakat Aceh. Alat musik ini kemudian menjadi sebuah identitas dan
kebanggaan ureueng Aceh. Adapun alat musik tradisional Aceh tersebut di
antaranya:
1. Arbab
Alat musik yang mirip biola ini dibuat
dari kulit kambing, batok kelapa, kayu dan dawai dengan penggeseknya terbuat
dari kayu atau rotan. Karena alat musik ini mirip biola, jadi sudah pasti cara
memainkannya adalah dengan cara digesek.
2. Bangsi Alas
Alat musik yang terbuat dari babmbu
ini bentuk dan cara memainkannya mirip sekali dengan suling. Dinamakan Bansi
Alas karena alat musik ini banyak sekali digunakan oleh masyarakat dari daerah
Alas, Kabupaten Aceh Tenggara.
3. Canang
Canang adalah alat musik yang mirip
sekali dengan gong dan terbuat dari kuningan. Alat musik ini dapat dijumpai
hampir di seluruh wilayah NAD.
4. Geundrang
Geundrang adalah salah satu alat musik
dari NAD yang cara memainkannya dengan dipukul menggunakan tangan atau kayu.
Geundrang berfungsi sebagai alat pelengkap tempo musik tradisional etnik Aceh.
5. Rapai
Rapai adalah alat musik tradisional
NAD yang bentuknya mirip dengan rebana. Menurut sejarah, alat musik ini
sebenarnya berasal dari kota Baghdad Irak yang dibawa oleh salah seorang
penyair Aceh, Syeikh Rapi.
6. Serune Kalee
Alat musik Serunee Kalee ini dimainkan
dengan cara ditiup. Bentuknya yang lancip pada bagian peniupnya dan semakin
melebar ke ujung satunya membuat alat musik ini memiliki nilai artistik lebih
bagi kebudayaan NAD.
7. Taktok Trieng
Taktok Trieng adalah alat musik yang
terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara dipukul. Alat musik ini memiliki 2
kegunaan yang berbeda dan unik. Yang pertama Taktok Trieng biasa digunakan di
mushola kecil ataupun di balai pertemuan. Satu lagi alat musik ini juga biasa
dipakai di sawah untuk mengusir burung pengganggu tanaman.
·
Pakaian Adat
Kekayaan budaya
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atau lebih dikenal dengan julukan Serambi
Mekah banyak dipengaruhi oleh budaya Islam. Dalam hal Pakaian Adat, pengaruh
budaya Islam juga sangat tampak. Seperti penjelasan mengenai pakaian adat
daerah Aceh berikut ini:
Pakaian Adat Tradisional Laki-laki Aceh (Linto
Baro):
§ Pria memakai Baje Meukasah atau baju jas leher
tertutup. Ada sulaman keemasan menghiasi krah baju.
§ Jas ini dilengkapi celana panjang yang disebut
Cekak Musang.
§ Kain sarung (Ija Lamgugap) dilipat di pinggang
berkesan gagah. Kain sarung ini terbuat dari sutra yang disongket.
§ Sebilah rencong atau Siwah berkepala emas/perak
dan berhiaskan permata diselipkan di ikat pinggang.
§ Bagian kepala ditutupi kopiah yang populer
disebut Meukeutop.
§ Tutup kepala ini dililit oleh Tangkulok atau
Tompok dari emas. Tangkulok ini terbuat dari kain tenunan. Tompok ialah hiasan
bintang persegi 8, bertingkat, dan terbuat dari logam mulia
Baju Adat Perempuan Aceh (Dara Baro):
§ Wanita mengenakan baju kurung berlengan
panjang hingga sepinggul. Krah bajunya sangat unik menyerupai krah baju khas
china.
§ Celana cekak musang dan sarung (Ija Pinggang)
bercorak yang dilipat sampai lutut. Corak pada sarung ini bersulam emas.
§ Perhiasan yang dipakai : kalung disebut Kula.
Ada pula hiasan lain seperti : Gelang tangan, Gelang kaki, Anting, dan ikat
pinggang (Pending) berwarna emas.
§ Bagian rembut ditarik ke atas membentuk
sanggul kecil dengan hiasan kecil bercorak bunga
·
Rumah Adat
Rumah
tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah
panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari
rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi
tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya
yaitu rumoh dapu (rumah dapur). Atap rumah berfungsi sebagai tempat penyimpanan
pusaka keluarga.
g. Mata Pencaharian
Sebagian besar penduduk suku Aceh hidup dari
bercocok tanam. Namun sistem pengairan di sawah-sawah belum teratur seperti di
Jawa, sebagian besar masih bergantung pada air hujan.
Penanaman padi hanya 1 kali dalam setahun
dengan pengolahan yang masih sederhana. Disamping bekerja di sawah, orang Aceh
biasa membuka ladang (huma) di tepi-tepi hutan secara berpindah-pindah,
sehingga banyak lahan yang tidak terurus lagi.
Selain bertani, penduduk suku Aceh sangat
gemar berdagang, terutama hasil bumi, hasil perkebunan dan hasil ikan laut.
Sejak jaman kuno Suku Aceh telah melakukan perdagangan dengan luar negeri dan
mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda tahun
1607-1636, yang telah mampu bersaing dengan pedagang Eropa.
Komentar
Posting Komentar